Bagi masyarakat yang belum akrab dengan bahasa Jawa barangkali akan bertanya-tanya tentang makna dari istilah Satriya Piningit dan Ratu Adil. Sementara bagi masyarakat Jawa akan sangat mudah memahami dua istilah tersebut, sekalipun sering menyamakan maknanya. Pengertian lain, banyak masyarakat Jawa masih menyamakan antara sosok Satriya Piningit dan Ratu Adil.

Berpijak dari realitas yang ada, maka perlu dijelaskan tentang makna esensial Satriya Piningit dan Ratu Adil. Sehingga dari makna yang diperoleh, kita akan dapat memahami perbedaan antara pengertian Satriya Piningit dan Ratu Adil. Disamping itu, penulis akan menjelaskan mengenai ciri-ciri, jati diri, dan tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil berdasarkan berbagai sumber. Tak ketinggalan pula, hubungan Satriya Piningit Sang Ratu Adil dengan keempat unsur (air, api, tanah, dan angin) serta hubungannya dengan ketiga simbol (Simbol Senapati, Simbol Bojonegoro, dan Simbol Natanegara) pula akan dibahas di dalam bab ini.
A. Pengertian Satriya Piningit dan Ratu Adil
Secara harfiah, Satriya Piningit (bahasa Jawa) memiliki arti seorang ksatria yang disembunyikan di dalam pingitan. Namun secara substansial, Satriya Piningit memiliki pengertian sebagai seorang calon presiden (capres) yang masih dirahasiakan oleh jaman. Karena masih dirahasiakan oleh jaman itulah, maka orang-orang hanya bisa menduga atau memprediksikan terhadap seorang sosok yang dianggap sebagai Satriya Piningit. Orang-orang baru meyakini sosok tersebut sebagai Satriya Piningit sesudah terpilih sebagai presiden melalui proses kampanye serta Pemilihan Umum (PEMILU) presiden.
Dari uraian di muka, penulis menyimpulkan bahwa seorang Satriya Piningit belum tentu sebagai Ratu Adil (pemimpin negara yang bersikap adil). Mengingat seorang Ratu Adil harus sinisihan wahyu. Artinya, seorang Ratu Adil harus memiliki wahyu keprabon (wahyu sebagai presiden) yang senantiasa bersikap adil kepada seluruh rakyatnya. Tidak mengutamakan pada kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, serta partainya yang mendukung; namun mengutamakan kepentingan seluruh rakyat dan negaranya. Dalam hal ini, rakyat yang justru menjadi ‘tuan’. Sementara presiden sebagai abdi rakyat atau abdi negara.
Memang diakui bahwa banyak Satriya Piningit yang tidak sinisihan wahyu berhasil menjadi presiden. Akan tetapi fakta menunjukkan, Satriya Piningit yang berhasil menjabat sebagai presiden bukan karena sinisihan wahyu melainkan karena rekayasa politis tersebut akan selalu menjadi bahan gunjingan (kritikan) dari rakyatnya. Bahkan Satria Piningit tersebut bisa dilengserkan secara paksa dari takhta kekuasaan oleh rakyatnya sendiri. Mengingat Satria Piningit yang cenderung melindungi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan partainya tersebut lebih berperan sebagai penguasa otoriter dan arogan ketimbang sebagai abdi rakyat atau abdi negara.
Sementara itu, seorang Satriya Piningit yang sinisihan wahyu akan menjadi Ratu Adil. Sosok pemimpin ideal yang dinobatkan oleh jaman untuk menjabat sebagai presiden. Dikatakan ideal, karena kepemimpinan dari Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang bersifat ugahari, jujur, tegas, membela kebenaran, ramah, rendah hati, dan pecinta kedamaian tersebut selalu mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan partainya. Sehingga sosok Satriya Piningit Sang Ratu Adil dapat disetarakan dengan sosok manusia setengah dewa. Dimana pengabdian tanpa pamrih pada negara dan rakyatnya lebih diprioritaskan ketimbang urusan mempertahankan takhta kekuasaan.
B. Ciri-Ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil
Jika mengacu pada prediksi R.Ng. Ranggawarsita III tempo doeloe, bahwa Satriya Piningit yang bakal menjabat sebagai presiden Republik Indonesia adalah Satriya Kinunjara Murwa Kuncara yang kemudian ditafsirkan sebagai Ir. Soekarno, Satriya Mukti Wibawa Kesandhung Kesampar yang kemudian ditafsirkan sebagai Soeharto, Satriya Jinumput Sumela Atur yang kemudian ditafsirkan sebagai B.J. Habibie, Satriya Lelana Tapa Ngrame yang kemudian ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Satriya Piningit Hamong Tuwuh yang kemudian ditafsirkan sebagai Dyah Permata Megawati Soekarno Putri (Mbak Mega), Satriya Boyong Pambukaning Gapura yang kemudian ditafsirkan sebagai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu atau Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang sampai sekarang belum diketahui sosoknya secara pasti.
Selain Satriya Piningit Sang Ratu Adil, kita belum membahas tentang enam Satriya Piningit lainnya yang telah (tengah) menjabat sebagai presiden RI pada bab ini. Dengan demikian, bahasan mengenai ciri-ciri Satriya Piningit hanya difokuskan pada ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang keberadaan dan kemunculannya masih sangat misterius. Berikut adalah pelukisan ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil berdasarkan:
1. Wangsit Siliwangi
Berpijak pada Wangsit Siliwangi, ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang dikenal dengan Budak Angon (penggembala) disebutkan sebagai berikut:
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”[1]
Dari kutipan Wangsit Siliwangi di muka, maka Satriya Piningit Sang Ratu Adil senantiasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, sebagai gembala. Namun bukan kerbau, domba, harimau, atau banteng yang digembalakannya, melainkan ranting dan daun kering, serta sisa potongan pohon. Artinya. Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang pemimpin yang selalu menggali ajaran-ajaran dari para leluhur di masa silam. Ajaran-ajaran atau falsafah kepemimpinan yang sudah dianggap kolot dan tidak bernilai di era (abad) modern ini.
Kadua, seorang gembala yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Artinya, Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang pemimpin yang terus berupaya untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki kehidupan bangsa dan negaranya. Seorang pemimpin yang berani menegakkan kebenaran, sekalipun banyak tantangan yang dihadapi. Bila ada yang melawan, maka hanya ditanggapi dengan bersenda gurau. Tanpa perlawanan fisik dan kekuatan pasukan semisal angkatan bersenjata, polisi, atau Satuan polisi pamong praja.
Ketiga, seorang gembala yang selalu mengumpulkan semua yang ditemui dan akan menemui banyak kejadian. Termasuk, ia akan menemui jaman baru sesudah berakhirnya jaman lama. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan menghadapi berbagai persoalan dan berusaha menampung dan menyelesaikan persoalan itu satu per satu. Sehingga Indonesia Baru akan terwujud sesudah berakhirnya Indonesia Lama yang penuh dengan ketidakberesan di sana sini.
Keempat, seorang gembala yang rumahnya di belakang sungai dengan pintu setinggi batu serta tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil sampai buku ini diselesailan masih dirahasiakan oleh sang jaman.
Di samping ciri-ciri yang disebutkan di muka, Satriya Piningit Sang Ratu Adil masih memiliki dua ciri lainnya. Lebih jauh tilik kutipan dari naskah Wangsit Siliwangi yang berikut ini:
”Nu garelut laju rareureuh, laju kakara arengeuh, kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!” [2]
Bersumberkan pada kutipan Wangsit Siliwangi di atas, Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang disebutkan sebagai Budak Angon tersebut masih memiliki dua ciri lainnya, antara lain:
- Memiliki kawan bernama Budak Janggotan. Seorang pemuda berjanggut.
- Memunculkan dirinya sesudah tinggal di Lebak Cawene. Sebuah lembah yang berbentuk cawan dan diduga terletak di seputar Gunung Perahu, Semarang.
2. Serat Musarar Jayabhaya
Di dalam Serat Musarar yang digubah oleh Prabu Jayabhaya dari Kadiri telah menyebutkan tentang datangnya Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Melalui bait ke-27, Serat Musarar menyebutkan tentang ciri-ciri Sitriya Piningit Sang Ratu Adil. Berikut yang tertulis dalam bait ke-27:
“Dene besuk nuli ana, tekane kang tunjung putih, semune pudhak kasungsang, bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, jagad kabeh ingkang mengku, juluk Ratu Amisan, sirep musibating bumi, wong nakoda milu manjing ing samuwan.” [3]
Dari Serat Musarar bait ke-27 tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri Satriya Piningit yang disimbolkan dengan tunjung putih semune pudhak kasungsang adalah seorang pemimpin negara berhati suci, bersih, dan jujur yang masih dirahasikan oleh jaman. Disamping pemimpin negara bergelar Ratu Amisan yang merupakan penganut Islam sejati tersebut dapat menyelesaikan segala persoalan di dalam negeri. Sehingga banyak pemimpin dari negeri lain sangat menghormati dan dan berkiblat kepada Sang Ratu Adil.
Ciri-ciri Satriya Piningit selanjutnya dijelaskan oleh Serat Musarar Jayabhaya pada bait ke-28 yang berbunyi sebagai berikut:
“Prabu tusing waliyulah, kadhatone pan kekalih, ing Mekah ingkang satunggal, tanah Jawi kang sawiji, prenahe iku kaki, perak lan gunung Perahu, sakulone tempuran, balane samya jrih asih, iya iku ratu rinenggeng sajagad.” [4]
Bila merujuk pada Serat Musarar Jayabhaya bait ke-28 di atas, kita dapat mengetahui bahwa ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang muslim sejati dan sekaligus berkepribadian Jawa. Satriya Piningit yang diperkirakan tinggal di dekat Gunung Perahu sebelah barat tempuran (pertemuan dua sungai) tersebut kelak bakal dihormati oleh bawahannya dan menjadi pembicaraan para pemimpin dunia.
Pada bait-bait akhir, Serat Musarar Jayabhaya menjelaskan lebih detail tentang ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Berikut adalah bunyi pada bait-bait akhir Serat Musarar Jayabhaya:
“Selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu, bakal ana dewa ngejawantah, apengawak manungsa, apasuryan padha bethara Kresna, awatak Baladewa, agegaman trisula wedha, jinejer wolak-waliking jaman, iku tandhane putra Bethara Indra wus katon, tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa, bala prewangan makluk alus padha baris, padha rebut benere garis, tan kasat mata, tan arupa, sing mandhegani putrane Bethara Indra, agegaman trisula wedha, momongane padha dadi nayaka perang, perange tanpa bala, sakti mandraguna tanpa aji-aji, apeparap pangeraning prang, tan pakra anggoning nyandhang, ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sapirang-pirang, idune idu geni, sabdane malati, sing mbregendhul mesthi mati, ora tuwa, enom padha dene bayi, wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada, garis sabda ora gantalan dina, beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira, tan karsa sinuyudan wong satanah Jawa, nanging inung pilih-pilih sapa, waskita pindha dewa, bisa nyumurupi laire mbahira, buyutira, canggahira, pindha lair bareng sadina, ora bisa diapusi marga bisa maca ati, wasis, wegig, waskita,ngerti sadurunge winarah, bisa pirsa mbah-mbahira, angawuningani jantraning jaman Jawa, ngerti garise siji-sijining umat, Tan kewran sasuruping jaman, ing ngarsa Begawan,dudu pandhita sinebut pandhita, dudu dewa sinebut dewa, kaya dene manungsa, iki dalan kanggo sing eling lan waspada, ing jaman kalabendu Jawa, aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa, cures ludhes saka braja jalma kumara, aja-aja kleru pandhita samusana, larinen pandhita asenjata trisula wedha, iku hiya pinaringaning dewa, nglurug tanpa bala, yen menang tan ngasorake liyan, para kawula padha suka-suka, marga adiling pangeran wus teka, ratune nyembah kawula, angagem trisula wedha, para pandhita hiya padha muja, hiya iku momongane kaki Sabdopalon, sing wis adu wirang nanging kondhang, genaha kacetha kanthi njingglang, nora ana wong nggresula kurang, hiya iku tandhane kalabendu wis minger, centi wektu jejering kalamukti, andayani indering jagad raya, padha asung bekti.” [5]
Berdasarkan pada bait-bait akhir Serat Musarar Jayabhaya di muka, kita dapat mengetahui bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang akan segera datang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, putra Bathara Indra. Artinya, Satriya Piningit Sang Ratu Adil merupakan keturunan dari seorang berhati mulia yang selalu memancarkan air kehidupan bagi sesamanya. Memberikan minuman bagi orang-orang yang dahaga. Memberikan kesejukan jiwa bagi orang-orang yang kegerahan.\
Kedua, dewa berbadan manusia dan berparas Bhatara Kresna. Artinya, satriya Piningit Sang Ratu Adil yang berkulit hitam (sawo matang) adalah jelmaan Bhatara Wisnu atau manusia berasal dari Jawa. Karena Bhatara Kresna menjadi titisan Wisnu dan sekaligus sebagai andheng-andhenge jagad[6], maka Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang selalu pro aktif dalam hamemayu hayuning bawana[7] akan menjadi pusat perhatian dunia.
Ketiga, berjiwa Baladewa. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki jiwa jujur dan tegas. Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan memberi hukuman kepada orang-orang yang salah, sekalipun mereka adalah dari keluarga atau kelompoknya sendiri. Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan memberikan anugerah dengan pantas kepada orang-orang yang telah mengabdikan hidupnya pada bangsa dan negaranya. Di dalam menjalankan roda pemerintahannya, tidak ban cindhe ban siladan[8]. Tidak pernah pilih kasih.
Keempat, bersenjata Trisula Wedha. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil di dalam memimpin bangsa dan negaranya senantiasa berpedoman pada pengetahuan serta tiga landasan utama, yakni: berpikir logis, bertutur kata yang sopan, dan berbuat selaras dengan perkataannya. Terdapat penafsiran lain, ketiga landasan utama yang diterapkan oleh Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah ilmu, amal, dan iman.
Kelima, jika berperang tanpa pasukan dan sakti mandraguna tanpa azimat. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil selalu menundukkan musuh-musuhnya tanpa pasukan dan kekerasan. Hal ini menunjukkan, bahwa Satriya Piningit yang selalu menerapkan falsafah Jawa: “Aksara Jawa yen dipangku mati[9]” lebih mengutamakan cinta dan pendekatan dialogis di dalam menghadapi pihak-pihak yang berseberangan.
Keenam, bBergelar perwira perang dan para pengasuhnya juga perwira perang. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil bergelar Senapati yang selalu membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Dengan demikian, para pembantunya juga selalu melakukan hal yang sama.
Ketujuh, berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang. Ludahnya ludah api. Sabdanya terbukti. Bagi yang membantah pasti mati. Artinya: sekalipun penampilannya kurang pantas dan sangat sederhana, namun Satriya Piningit Sang Ratu Adil dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya. Disamping itu, segala yang diucapkan oleh Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan menjadi kenyataan. Setiap orang yang tidak mempercayai ucapannya akan merasa malu di kemudian.
Kedelapan, tidak mau dihormati orang se-tanah Jawa. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak mau dipuji oleh siapa saja. Terutama pujian yang bertendensi menjilat. Itulah sifat orang Jawa yang bila dipuji justru akan seperti terlena dalam buaian. Hingga tidak waspada tentang bahaya yang mengancam di sekitarnya.
Kesembilan, tidak khawatir tertelan jaman. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak takut bila tidak tercatat dalam kitab sejarah. Tidak takut bila jabatannya sebagai pemimpin negeri kelak digantikan oleh orang lain. Karena pengabdiannya sebagai pemimpin negara memang tulus untuk rakyat. Bukan mencari ketenaran, pujian, harta-benda, kekuasaan, serta penghargaan apapun baik dari dalam maupun luar negeri.
Kesepuluh, bukan pendeta, namun disebut pendeta. Bukan dewa, namun disebut dewa. Ia adalah manusia biasa. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah manusia biasa dari kelurga biasa pula. Akan tetapi, kewibawaannya seperti seorang pendeta atau dewa. Sehingga banyak orang besar akan menghormatinya.
Kesebelas, Menyembah pada rakyat. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil merupakan pemimpin negara yang mempersembahkan tenaga dan pikirannya hanya untuk kepentingan rakyat. Pemahaman dari Satriya Piningit Sang Ratu Adil ini sejalan dengan pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yakni takhta untuk rakyat. Dimana pemimpin negara adalah abdi, sementara rakyatlah yang menjadi tuan. Sebagaimana raja agung yang harus dilayani dengan tulus.
Keduabelas, diasuh oleh Sabdapalon. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil selalu menerapkan wejangan-wejangan yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup (Sabdapalon) di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin negara.
3. Serat Sabdaplon
Tidak hanya Wangsit Siliwangi dan Serat Musarar Jayabhaya, Serat Sabdapalon pula menyebutkan tentang ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Adapun salah satu bait Serat Sabdapalon yang menyebutkan ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil tersebut tertulis sebagai berikut:
“Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawa arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.” [10]
Dari salah satu bait di dalam Serat Sabdapalon tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Sebagai orang Jawa tulen yang bernama tua.
- Memiliki pengetahuan yang sangat luas dan memadahi.
- Diasuh oleh Sabdaplon. Artinya, selalu mengamalkan ajaran-ajaran luhur yang dapat diteladani oleh seluruh rakyatnya.
- Sebagai guru orang-orang Jawa yang telah kehilangan jawanya. Artinya, ajaran yang diberikan bukan sebatas tata-cara, tradisi, dan kebudayaan Jawa; namun pula bagaimana menjadi orang Jawa yang berkepribadian Jawa.
4. Persepsi Ranggawarsita
Lain dengan Wangsit Siliwangi yang menyebut Satriya Piningit Sang Ratu Adil dengan Budak Pangon, Serat Musarar Jayabhaya dengan putra Bhatara Indra, Serat Centhini dengan Sultan Herucakra, atau Serat Sabdapalon dengan Orang Jawa Tulen Bernama Tua; R.Ng. Ranggawarsita menyebutnya dengan Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu. Artinya, Satriya Piningit Sang Ratu Adil dalam persepsi Ranggawarsita memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Sebagai ksatria yang sangat patuh terhadap ajaran agamanya. Hingga ia mendapatkan julukan pendeta. Penjunjung tinggi nilai-nilai religius pengamal ajaran-ajaran agama yang diyakininya.
- Sebagai pemimpin yang selalu berpedoman pada petunjuk-petunjuk Illahi baik yang tersurat dalam kitab sinerat[11] maupun tersirat di dalam kitab gumelar[12].
5. Persepsi Tri Budi Marhaen Gunawan
Berdasarkan pada pandangan Tri Budi Marhaen Gunawan, bahwa seorang yang disebut dengan Budak Pangon (versi Wangsit Siliwangi), Putra Bhatara Indra (versi Serat Musarar), Sultan Herucakra (Serat Centhini), Orang Jawa Tulen Bernama Tua (Serat Sabdapalon), atau Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu (persepsi R.Ng. Ranggawarsita) adalah Sabdapalon itu sendiri.
Lebih jauh Tri Budi menyebutkan, bahwa Sabdapalon yang semula sebagai abdi Prabu Brawijaya (Raja Majapahit terakhir menurut versi Babad Tanah Djawi) tersebut ditafsirkannya sebagai Dang Hyang Nitratha. Beliau pula dikenal dengan nama Mpu Dwijendra, Pedanda Sakti Wawu Rawuh, atau Tuan Semeru. Seorang tokoh yang memiliki dua pusaka, yakni: Oumyang Majapahit (lambang daya atman) dan Ki Rancak (lambang daya Roh Kudus).
Bila persepsi dari Tri Budi tersebujt bisa diterima kebenarannya, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa Sabdapalon merupakan jiwa dari Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Sehingga Sabdapalon dan Satriya Piningit seperti sepasang mata uang yang tidak dipisahkan sebagaimana Semar dengan Pandhawa. Kesatuan makro-kosmis (jagad ageng) dan mikro-kosmis (jagad cilik) yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
C. Jati Diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil
Siapakah sejatinya Satriya Piningit Sang Ratu Adil? Demikian pertanyaan mendasar dari banyak kalangan yang tengah melacak kesejatian atau jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Pertanyaan yang akan mendapatkan jawaban dalam bab ini tentu saja meliputi: keberadaan, nama, serta gelar jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Sosok pemimpin ideal yang tengah ditunggu-tunggu kehadirannya oleh seluruh rakyat Nusantara.
1. Keberadaan jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil
Banyak orang yang berkecimpung di dalam laku spiritual mengatakan bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil hingga sekarang keberadaannya masih dirahasiakan oleh jaman. Namun pada waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan, Satriya Piningit Sang Ratu Adil bakal muncul. Menurut pandangan Tri Budi Marhaen Gunawan, Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang merupakan putra keturuan Jawa tersebut akan muncul pada saatnya. Kemunculannya tidak hanya untuk mengambil alih negeri ini saja, namun pula wilayah yang membentang dari India hingga Madagaskar. Dalam mengambilalihan negeri ini, Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak mengunakan jalan kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialogis dengan pihak-pihak yang berseberangan. Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorke[13].
Sekalipun masih dirahasiakan keberadaannya, salah satu ciri yang sangat menonjol dari Satriya Piningit Sang Ratu adalah memiliki budi pekerti luhur dan berjiwa kepemimpinan arif-bijaksana. Disamping itu, Satriya Piningit Sang Ratu Adil pula membawa ajaran tentang peradaban bangsa. Sehingga kepemimpinan Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak hanya disegani oleh seluruh rakyatnya, namun pula para pemimpin negara lain. Hingga muncullah suatu pandangan, apabila Satriya Piningit Sang Ratu Adil telah menjadi pemimpin negara, banyak negara dari wilayah Sunda Besar (Susununan Dunia Besar) akan dengan suka rela menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Nama dan gelar jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil
Berdasarkan sumber yang diperoleh dari para pelaku kebatinan, bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki banyak nama jati diri. Semisal Tri Budi Marhaen Gunawan menyebut Satriya Piningit Sang Ratu Adil dengan nama Gapura Diningrat Panca Dinika yang bermakna pintu gerbang kehidupan guna membawa peradaban luhur bagi pengikutnya atau pengantar ke pintu gerbang pembentukan jati diri keningratan pada setiap insan yang terbentuk oleh kekuatan mandiri dalam implementasi keparipurnaan beragama, berbangsa, dan berbudaya.
Disamping nama, Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki gelar jati diri. Menurut Tri Budi Marhaen, gelar Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah Asma Putra Purana Saki Kirti yang bermakna seorang anak muda berpenduduk Jawa yang akan memimpin dunia. Lanjut Tri Budi, bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang guru batin, guru bahasa, guru bumi, guru bicara, dan guru besar.
D. Tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil
Tuhan adalah penguasa semesta yang maha bijaksana. Dengan berpijak pada keyakinan ini, maka kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil niscaya memiliki tujuan yang sangat rahasia dan mulia. Menurut pandangan dari beberapa pihak, bahwa kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan menjadi khalifatullah di dalam hamemayu hayuning nuswantara. Perihal tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang akan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin negara adalah sebagai berikut:
1. Memperbaiki peradaban yang kacau balau
Oleh Satriya Piningit Sang Ratu Adil, tujuan untuk memperbaiki peradaban yang kacau balau akan mendapatkan prioritasnya. Mengingat sebelum ia menjabat sebagai pemimpin, peradaban negara dalam keadaan kacau-balau.
2. Membentuk tatanan-tatanan baru
Tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan membentuk tatanan-tatanan baru untuk menggantikan tatatan-tatanan lama yang cenderung menguntungkan pihak penguasa dan sangat merugikan pihak rakyat.
E. Satriya Piningit Sang Ratu Adil dan Unsur Alam
Kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil di bumi Nusantara senantiasa membawa kekuatan Tuhan, leluhur, dan empat unsur alam yang akan dijadikan sebagai senjata di dalam memimpin bangsa dan negara. Adapun keempat unsur alam tersebut, antara lain:
- Air untuk menenggelamkan bagi yang memusuhinya.
- Api untuk membasmi atau membumihanguskan keangkaramurkaan.
- Tanah untuk mengutuk dan mengubur musuh-musuhnya.
- Angin sebagai pelindung atau perisai.
F. Satriya Piningit Sang Ratu Adil dan Simbol
Telah disinggung di muka, bahwa kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu adil merupakan wakil Tuhan (khalifatullah) untuk memperbaiki peradaban dan membentuk tatanan-tatanan baru di bumi pertiwi. Disamping itu, kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil pula ditandai dengan tiga tahapan yang berupa simbol peristiwa (kejadian), antara lain:
1. Simbol Senapati
Pada tahapan Simbol Senapati, kemunculan Satriya Piningit akan ditandai dengan peristiwa bencana alam (gara-gara) yang menelan banyak korban jiwa. Peristiwa ini yang kemudian memotivasi kepada Satriya Piningit Sang Ratu Adil untuk segera meredamkannya.
2. Simbol Bojonegoro
Pada tahapan Simbol Bojonegoro, Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang mampu meredam bencana alam (gara-gara) tersebut akan membawa kehidupan aman, damai, dan tentram bagi seluruh rakyatnya.
3. Simbol Natanegara
Pada tahapan Simbol Natanegara, Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan melaksanakan tatanan-tatanan baru di dalam negaranya. Pada tahapan ini, para leluhur terdahulu dan beo-beo akan menyampaikan pesan pada Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Melalui hubungan antara Satriya Piningit, para leluhur, dan beo-beo (binatang) ini akan menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang sangat dinamis. [Ummi Azzura Wijana/Sekar Pandanwangi]
Catatan Kaki:
[1] Terjemahan dari kutipan Wangsit Siliwangi tersebut adalah sebagai berikut: “Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang menjadi sejarah baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”
[2] Terjemahan dari kutipan Wangsit Siliwangi tersebut adalah sebagai berikut: “Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”
[3] Terjemahan dari Serat Musarar Jayabhaya bait ke-27 adalah sebagai berikut: “Kemudian kelak akan datang tunjung putih semune pudhak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”
[4] Terjemahan dari Serat Musarar Jayabhaya bait ke-28 adalah sebagai berikut: “Raja utusan waliyullah. Beristana dua yakni di Mekah dan di tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Sungguh seorang pemimpin negara yang terkenal sedunia.”
[5] Terjemahan dari Serat Musarar Jayabhaya pada bait-bait terakhirnya tersebut adalah sebagai berikut: “Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sengkalan: dewa wolu, ngasta manggalaning ratu), akan ada dewa tampil, berbadan manusia, berparas seperti Bhatara Kresna, berwatak seperti Baladewa, bersenjata trisula wedha, tanda datangnya perubahan jaman, itulah tanda putra Bhatara Indra sudah nampak, datang di bumi untuk membantu orang Jawa, pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar, tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Bhatara Indra, bersenjatakan trisula wedha, para asuhannya menjadi perwira perang, jika berperang tanpa pasukan, sakti mandraguna tanpa azimat, bergelar pangeran perang, kelihatan berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang, ludahnya ludah api, sabdanya terbukti, yang membantah pasti mati, orang tua, muda maupun bayi, orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi, garis sabdanya tidak akan lama, beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta mentaati sabdanya, tidak mau dihormati orang se-tanah Jawa, tetapi hanya memilih beberapa saja, pandai meramal seperti dewa, dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggahmu, seolah-olah lahir di waktu yang sama, tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati, bijak, cermat dan sakti, mengerti sebelum sesuatu terjadi, mengetahui leluhurmu, memahami putaran roda jaman Jawa, mengerti garis hidup setiap umat, tidak khawatir tertelan jaman, di hadapan Begawan, bukan pendeta disebut pendeta, bukan dewa disebut dewa, namun manusia biasa, inilah jalan bagi yang ingat dan waspada, pada jaman kalabendu Jawa, jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa, yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga, jangan keliru mencari dewa, carilah dewa bersenjata trisula wedha, itulah pemberian dewa, menyerang tanpa pasukan, bila menang tak menghina yang lain, rakyat bersuka ria, karena keadilan Yang Kuasa telah tiba, raja menyembah rakyat, bersenjatakan trisula wedha, para pendeta juga pada memuja, itulah asuhannya Sabdopalon, yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur, segalanya tampak terang benderang, tak ada yang mengeluh kekurangan, itulah tanda jaman kalabendu telah usai, berganti jaman penuh kemuliaan, memperkokoh tatanan jagad raya, semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.”
[6] Tai lalat dunia (pusat perhatian dunia).
[7] Menjaga keselamatan keasrian alam.
[8] Membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.
[9] Aksara Jawa kalau dipangku mati.
[10] Terjemahan dari salah satu bait Serat Sabdapalon tersebut adalah sebagai berikut: “Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua, berpegang pada kawruh Jawa, ya itulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawa yang telah kehilangan Jawa-nya akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”
[11] Kitab suci yang tertulis, seperti: Al-Qur’an, Injil, Weda, Tripitaka, dan kitab suci lainnya.
[12] Kitab tergelar yang dimaksud adalam alam semesta.
[13] Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan.
Sumber teks:
Achmad, Sri Wintla. 2015. Satria Piningit: Menyingkap Falsafah Ratu Adil, Yogyakarta: Araska.
Sumber Foto