BABAD TANAH JAWI: SERI BRAWIJAYA (6-TAMAT)

SANDYAKALANING MAJAPAHIT

 

Bermula dari kecurigaan kepada Sunan Giri Parapen yang semakin lama semakin mendapatkan banyak pengikut, Prabu Brawijaya memerintahkan kepada Patih Gajah Premada untuk menyerang dan membumihanguskan Kasunanan Giri.

majapahit12b.jpg

Bersama pasukan Majapahit, Patih Gajah Premada menyerbu Kasunanan Giri. Karena banyak orang kecil tidak berdosa menjadi korban, Sunan Giri Parapen tampil sebagai panglima perang. Dengan keris ligan Kyai Kalamunyeng, Sunan Giri Parapen dapat mengusir pasukan Majapahit dari tlatah Kasunanan Giri.

Melihat kenyataan pahit yang menimpa pasukannya, Brawijaya pergi ke Giri untuk menaklukkan Sunan Gigi Parapen. Namun berkat kesaktiannya, Sunan Giri Parapen dapat mendatangkan pasukan lebah melalui keris Kyai Kalamunyeng yang kemudian menyerbu pasukan Majapahit.

Tidak berdaya menghadapi pasukan lebah, Prabu Brawijaya dan pasukannya mundur teratur dari medan pertempuran. Sejak peristiwa perang antara pasukan Majapahit dan Kasunan Giri tersebut, hubungan antara Brawijaya dengan Sunan Giri Parapen berangsur-angsur retak dan terputus sama sekali.

***

Sudah genap tiga tahun, Raden Patah sang adipati Bintara tidak menghadap Prabu Brawijaya untuk menyerahkan upeti. Karena itu, Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk menyatakan kenapa Raden Patah sudah sekian lama tidak menyerahkan upeti ke Kerajaan Majapahit.

086210600_1445596244-bubat8.png

Sebagai hamba Majapahit, Adipati Terung berangkat ke Kadipaten Bintara bersama pasukannya. Setiba di Kadipaten Bintara, Adipati Terung mendapatkan jawaban dari Raden Patah bahwa ia akan mbalela (membelot) dari Majapahit. Karena di mata Raden Patah, Brawijaya telah dianggap sebagai raja kafir.

Apa yang dikatakan Raden Patah memang benar adanya. Kepada Majapahit, Raden Patah telah mbalela. Bahkan dengan dukungan dari Arya Teja dari Tuban, Sunan Ampeldenta, Sunan Giri Parapen, Arya Baribin dari Madura, dan Adipati Surabaya; Raden Patah dan pasukan sekutunya mengkudeta kekuasaan Brawijaya dan membumihanguskan istana Majapahit.

Sungguhpun istana Majapahit telah dibumihanguskan oleh pasukan sekutu Demak, Ampeldenta, Giri, Madura, dan Surabaya; namun Prabu Brawijaya beserta para abdi setianya dapat meloloskan diri dari kepungan musuh. Mereka bercerai-berai meninggalkan Majapahit. Menuju tempat-tempat yang mereka anggap aman. (uaw/plt)

*) Disarikan dari Babad Tanah Djawi, Balai Pustaka, Betawi Sentrem, 1939.

Sumber Foto:

BABAD TANAH JAWI: SERI BRAWIJAYA (5)

JAKA TARUB

 

Dikisahkan dari Negeri Kudus. Ki Gede Kudus memiliki 3 putra dari 2 istri. Kedua putranya telah menikah. Sementara putranya yang bungsu belum bersedia menikah. Ki Gede Kudus terus mendesak agar si bungsu segera menikah. Karena didesak terus-menerus, putra bungsu Ki Gede Kudus itu meninggalkan rumahnya secara diam-diam. Menaik-turuni bukit. Menyeberangi sungai demi sungai. Keluar masuk hutan belantara. Hingga berakhir tinggal di Gunung Kendeng.

***

n-wulan-j-tarub-082 (1)
Jaka Tarub dalam pementasan sendratari.

Di lain tempat. Tepatnya di Desa Kembanglampir. Ki Ageng Kembanglampir memiliki seorang anak gadis yang telah menginjak dewasa. Suatu hari anak gadis Ki Ageng Kembanglampir itu mandi telanjang di sendang. Tanpa direncana, Ki Jaka (putra Ki Gedhe Kudus) melihat anak gadis Ki Ageng Kembanglampir yang tengah mandi telanjang di sendang itu. Singkat cerita, hasrat berahi pada pandangan pertama dari kedua insan muda itu saling bertautan. Hingga terjadilah hubunga asmara yang tidak dapat dikendalikan. Melihat anak gadisnya hamil, Ki Ageng Kembanglampir berang bukan kepalang. Maka diusirlah anak gadisnya itu ke dalam hutan.

Lahirlah jabang bayi dari rahim anak gadis Ki Ageng Kembanglampir. Namun sewaktu bayi itu terlahir, sang ibu meninggal dunia (mati kunduran). Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang pencari burung dengan tulup yang bernama Ki Ageng Selandaka. Bayi itu dibawa oleh Ki Ageng Selandaka. Diletakkan di bawah pohon giyanti. Oleh Nyi Randa Wulanjar dari Desa Tarub, bayi yang berada di bawah pohon giyanti itu ditemukan. Dibawa pulang ke rumahnya.

Lambat-laun, bayi yang diberi nama Jaka Tarub itu menjadi dewasa. Tidak ada pekerjaan yang dilakukan oleh Jaka Tarub, selain berburu burung di hutan dengan senjata tulupnya. Seharian penuh, Jaka Tarub di dalam hutan. Pagi, berangkat dari rumah. Senja hari, pulang ke rumah.

Suatu hari, Jaka Tarub melihat seekor burung yang sangat indah dan belum pernah disaksikan sebelumnya. Namun saat akan ditulup, burung itu terbang. Karena ketertarikannya dengan burung itu, Jaka Tarub mengejarnya hingga tiba di sendang. Tempat pemandian para bidadari dari kahyangan.

Tidak seberapa lama, Jaka Tarub mendengar suara gemuruh dari langit. Jaka Tarub terkagum-kagum, manakala menyaksikan para bidadari turun ke tepian sendang itu. Jaka Tarub menelan ludah. Jakunnya turun-naik, manakala bidadari-bidadari itu menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Turun ke sendang. Mandi dan bersendau gurau.

Selagi bidadari-bidadari itu tengah bersenda-gurau, Jaka Tarub berjalan merayap menuju tepian sendang. Mengambil pakaian dari salah satu bidadari itu. Membawa pakaian itu pulang dan menyimpannya di dalam lumbung. Sesudah mengambil pakaian pengganti, Jaka Tarub kembali ke sendang. Manakala Jaka Tarub berdehem dari balik pohon besar; bidadari-bidadari yang mendengarnya segera naik dari sendang, mengambil pakaian dan mengenakannya. Mereka kembali terbang ke angkasa. Tinggallah bidadari Nawangwulan yang tidak menemukan pakaiannya itu masih berendam telanjang di sendang.

Menyaksikan keayurupawanan bidadari Nawangwulan, Jaka Tarub jatuh cinta dan ingin menikahinya. Nawangwulan bersedia dinikahi Jaka Tarub, asalkan memberikan pakaian penutup aurat. Jaka Tarub memberikan pakaian itu. Nawangwulan menerima dan mengenakannya.

Sudah menjadi takdir, Jaka Tarub dan Nawangwulan menjadi suami-istri. Nyi Randa Wulanjar bersuka-cita. Tidak lama kemudian, Nawangwulan mengandung benih dari Jaka Tarub. Sembilan bulan sepuluh hari, Nawangwulan melahirkan seorang bayi perempuan. Oleh Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub), bayi yang berparas jelita itu diberi pusaka nama Nawangsih.

Suatu hari, Nawangwulan akan pergi ke sungai untuk membasuh popok bayi Nawangsih. Sebelum meninggalkan rumah, Nawangwulan berpesan pada Ki Ageng Tarub agar tidak membuka tutup periuk nasi yang tengah ditanaknya. Namun, pesan Nawangwulan itu dilanggar oleh Ki Gede Tarub.

Sejak Ki Gede Tarub melanggar pesan Nawangwulan, keluarganya selalu menanak nasi sebagaimana orang pada umumnya. Hingga perlahan-lahan, padi di dalam lumbung terkuras habis. Pada saat itulah, Nawangwulan yang telah menemukan pakaiannya pulang ke kahyangan. Meninggalkan Ki Gedhe Tarub dan bayi Nawangsih.

***

Di tempat lain, yakni di Majapahit. Bondan Kejawan kecil yang bermain sampai ke gedhong gangsa Keraton Majapahit itu bermain gamelan. Mendengar suara gaduh dari dalam gedhong gangsa, Prabu Brawijaya berjalan ke sumber suara. Melihat seorang anak kecil yang tengah bermain gamelan.

Sesudah mendapatkan laporan dari seorang prajurit, bahwa si pemain gamelan adalah putra Ki Buyut Masahar, maka dipanggillah orang itu. Oleh Prabu Brawijaya, Bondan Kejawan diminta dari Ki Buyut Masahar untuk diungut sebagai sebagi anak angkat. Dengan senang hati, Ki Buyut menyerahkan Bondan Kejawan pada sang raja.

Beberapa hari kemudian, Brawijaya memerintahkan pada Ki Buyut Masahar agar membawa Bondan Kejawan berguru pada Ki Gede Tarub. Sesudah Bondan Kejawan menerima dua keris dari Brawijauya yang bernama Kyai Maesanular dan Kyai Malela, Ki Buyut Masahar membawa anak itu menuju Desa Tarub. Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh dua orang begal. Berkat kesaktian keris Kyai Maesanular, kedua begal itu tewas di tangan Bondan Kejawan dengan dada dan lambung memuntahkan darah segar.

Di Desa Tarub, Bondan Kejawan dan Ki Buyut Masahar disambut dengan baik oleh Ki Gede Tarub. Sesudah menyerahkan Bondan Kejawan pada Ki Gede Tarub sebagaimana yang dipesankan oleh Brawijaya, Ki Buyut Masahar pulang ke rumahnya. Sementara Bondan Kejawan tetap tinggal di Desa Tarub sebagai siswa Ki Gede Tarub. Selain itu, Bondan Kejawan diangkat sebagai putra. (uaw/plt)

*) Disarikan dari Babad Tanah Djawi, Balai Pustaka, Betawi Sentrem, 1939.

 

Sumber Foto:

 

 

MENYINGKAP MISTERI SATRIA PININGIT DAN RATU ADIL

Bagi masyarakat yang belum akrab dengan bahasa Jawa barangkali akan bertanya-tanya tentang makna dari istilah Satriya Piningit dan Ratu Adil. Sementara bagi masyarakat Jawa akan sangat mudah memahami dua istilah tersebut, sekalipun sering menyamakan maknanya. Pengertian lain, banyak masyarakat Jawa masih menyamakan antara sosok Satriya Piningit dan Ratu Adil.

maxresdefault (1).jpg

Berpijak dari realitas yang ada, maka perlu dijelaskan tentang makna esensial Satriya Piningit dan Ratu Adil. Sehingga dari makna yang diperoleh, kita akan dapat memahami perbedaan antara pengertian Satriya Piningit dan Ratu Adil. Disamping itu, penulis akan menjelaskan mengenai ciri-ciri, jati diri, dan tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil berdasarkan berbagai sumber. Tak ketinggalan pula, hubungan Satriya Piningit Sang Ratu Adil dengan keempat unsur (air, api, tanah, dan angin) serta hubungannya dengan ketiga simbol (Simbol Senapati, Simbol Bojonegoro, dan Simbol Natanegara) pula akan dibahas di dalam bab ini.

A. Pengertian Satriya Piningit dan Ratu Adil

Secara harfiah, Satriya Piningit (bahasa Jawa) memiliki arti seorang ksatria yang disembunyikan di dalam pingitan. Namun secara substansial, Satriya Piningit memiliki pengertian sebagai seorang calon presiden (capres) yang masih dirahasiakan oleh jaman. Karena masih dirahasiakan oleh jaman itulah, maka orang-orang hanya bisa menduga atau memprediksikan terhadap seorang sosok yang dianggap sebagai Satriya Piningit. Orang-orang baru meyakini sosok tersebut sebagai Satriya Piningit sesudah terpilih sebagai presiden melalui proses kampanye serta Pemilihan Umum (PEMILU) presiden.

Dari uraian di muka, penulis menyimpulkan bahwa seorang Satriya Piningit belum tentu sebagai Ratu Adil (pemimpin negara yang bersikap adil). Mengingat seorang Ratu Adil harus sinisihan wahyu. Artinya, seorang Ratu Adil harus memiliki wahyu keprabon (wahyu sebagai presiden) yang senantiasa bersikap adil kepada seluruh rakyatnya. Tidak mengutamakan pada kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, serta partainya yang mendukung; namun mengutamakan kepentingan seluruh rakyat dan negaranya. Dalam hal ini, rakyat yang justru menjadi ‘tuan’. Sementara presiden sebagai abdi rakyat atau abdi negara.

Memang diakui bahwa banyak Satriya Piningit yang tidak sinisihan wahyu berhasil menjadi presiden. Akan tetapi fakta menunjukkan, Satriya Piningit yang berhasil menjabat sebagai presiden bukan karena sinisihan wahyu melainkan karena rekayasa politis tersebut akan selalu menjadi bahan gunjingan (kritikan) dari rakyatnya. Bahkan Satria Piningit tersebut bisa dilengserkan secara paksa dari takhta kekuasaan oleh rakyatnya sendiri. Mengingat Satria Piningit yang cenderung melindungi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan partainya tersebut lebih berperan sebagai penguasa otoriter dan arogan ketimbang sebagai abdi rakyat atau abdi negara.

Sementara itu, seorang Satriya Piningit yang sinisihan wahyu akan menjadi Ratu Adil. Sosok pemimpin ideal yang dinobatkan oleh jaman untuk menjabat sebagai presiden. Dikatakan ideal, karena kepemimpinan dari Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang bersifat ugahari, jujur, tegas, membela kebenaran, ramah, rendah hati, dan pecinta kedamaian tersebut selalu mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan partainya. Sehingga sosok Satriya Piningit Sang Ratu Adil dapat disetarakan dengan sosok manusia setengah dewa. Dimana pengabdian tanpa pamrih pada negara dan rakyatnya lebih diprioritaskan ketimbang urusan mempertahankan takhta kekuasaan.

B. Ciri-Ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil

Jika mengacu pada prediksi R.Ng. Ranggawarsita III tempo doeloe, bahwa Satriya Piningit yang bakal menjabat sebagai presiden Republik Indonesia adalah Satriya Kinunjara Murwa Kuncara yang kemudian ditafsirkan sebagai Ir. Soekarno, Satriya Mukti Wibawa Kesandhung Kesampar yang kemudian ditafsirkan sebagai Soeharto, Satriya Jinumput Sumela Atur yang kemudian ditafsirkan sebagai B.J. Habibie, Satriya Lelana Tapa Ngrame yang kemudian ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Satriya Piningit Hamong Tuwuh yang kemudian ditafsirkan sebagai Dyah Permata Megawati Soekarno Putri (Mbak Mega), Satriya Boyong Pambukaning Gapura yang kemudian ditafsirkan sebagai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu atau Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang sampai sekarang belum diketahui sosoknya secara pasti.

Selain Satriya Piningit Sang Ratu Adil, kita belum membahas tentang enam Satriya Piningit lainnya yang telah (tengah) menjabat sebagai presiden RI pada bab ini. Dengan demikian, bahasan mengenai ciri-ciri Satriya Piningit hanya difokuskan pada ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang keberadaan dan kemunculannya masih sangat misterius. Berikut adalah pelukisan ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil berdasarkan:

1. Wangsit Siliwangi

Berpijak pada Wangsit Siliwangi, ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang dikenal dengan Budak Angon (penggembala) disebutkan sebagai berikut:

”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”[1]

Dari kutipan Wangsit Siliwangi di muka, maka Satriya Piningit Sang Ratu Adil senantiasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, sebagai gembala. Namun bukan kerbau, domba, harimau, atau banteng yang digembalakannya, melainkan ranting dan daun kering, serta sisa potongan pohon. Artinya. Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang pemimpin yang selalu menggali ajaran-ajaran dari para leluhur di masa silam. Ajaran-ajaran atau falsafah kepemimpinan yang sudah dianggap kolot dan tidak bernilai di era (abad) modern ini.

Kadua, seorang gembala yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Artinya, Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang pemimpin yang terus berupaya untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki kehidupan bangsa dan negaranya. Seorang pemimpin yang berani menegakkan kebenaran, sekalipun banyak tantangan yang dihadapi. Bila ada yang melawan, maka hanya ditanggapi dengan bersenda gurau. Tanpa perlawanan fisik dan kekuatan pasukan semisal angkatan bersenjata, polisi, atau Satuan polisi pamong praja.

Ketiga, seorang gembala yang selalu mengumpulkan semua yang ditemui dan akan menemui banyak kejadian. Termasuk, ia akan menemui jaman baru sesudah berakhirnya jaman lama. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan menghadapi berbagai persoalan dan berusaha menampung dan menyelesaikan persoalan itu satu per satu. Sehingga Indonesia Baru akan terwujud sesudah berakhirnya Indonesia Lama yang penuh dengan ketidakberesan di sana sini.

Keempat, seorang gembala yang rumahnya di belakang sungai dengan pintu setinggi batu serta tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil sampai buku ini diselesailan masih dirahasiakan oleh sang jaman.

Di samping ciri-ciri yang disebutkan di muka, Satriya Piningit Sang Ratu Adil masih memiliki dua ciri lainnya. Lebih jauh tilik kutipan dari naskah Wangsit Siliwangi yang berikut ini:

”Nu garelut laju rareureuh, laju kakara arengeuh, kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!” [2]

Bersumberkan pada kutipan Wangsit Siliwangi di atas, Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang disebutkan sebagai Budak Angon tersebut masih memiliki dua ciri lainnya, antara lain:

  • Memiliki kawan bernama Budak Janggotan. Seorang pemuda berjanggut.
  • Memunculkan dirinya sesudah tinggal di Lebak Cawene. Sebuah lembah yang berbentuk cawan dan diduga terletak di seputar Gunung Perahu, Semarang.

2. Serat Musarar Jayabhaya

Di dalam Serat Musarar yang digubah oleh Prabu Jayabhaya dari Kadiri telah menyebutkan tentang datangnya Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Melalui bait ke-27, Serat Musarar menyebutkan tentang ciri-ciri Sitriya Piningit Sang Ratu Adil. Berikut yang tertulis dalam bait ke-27:

“Dene besuk nuli ana, tekane kang tunjung putih, semune pudhak kasungsang, bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, jagad kabeh ingkang mengku, juluk Ratu Amisan, sirep musibating bumi, wong nakoda milu manjing ing samuwan.” [3]

Dari Serat Musarar bait ke-27 tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri Satriya Piningit yang disimbolkan dengan tunjung putih semune pudhak kasungsang adalah seorang pemimpin negara berhati suci, bersih, dan jujur yang masih dirahasikan oleh jaman. Disamping pemimpin negara bergelar Ratu Amisan yang merupakan penganut Islam sejati tersebut dapat menyelesaikan segala persoalan di dalam negeri. Sehingga banyak pemimpin dari negeri lain sangat menghormati dan dan berkiblat kepada Sang Ratu Adil.

Ciri-ciri Satriya Piningit selanjutnya dijelaskan oleh Serat Musarar Jayabhaya pada bait ke-28 yang berbunyi sebagai berikut:

“Prabu tusing waliyulah, kadhatone pan kekalih, ing Mekah ingkang satunggal, tanah Jawi kang sawiji, prenahe iku kaki, perak lan gunung Perahu, sakulone tempuran, balane samya jrih asih, iya iku ratu rinenggeng sajagad.” [4]

Bila merujuk pada Serat Musarar Jayabhaya bait ke-28 di atas, kita dapat mengetahui bahwa ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang muslim sejati dan sekaligus berkepribadian Jawa. Satriya Piningit yang diperkirakan tinggal di dekat Gunung Perahu sebelah barat tempuran (pertemuan dua sungai) tersebut kelak bakal dihormati oleh bawahannya dan menjadi pembicaraan para pemimpin dunia.

Pada bait-bait akhir, Serat Musarar Jayabhaya menjelaskan lebih detail tentang ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Berikut adalah bunyi pada bait-bait akhir Serat Musarar Jayabhaya:

“Selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu, bakal ana dewa ngejawantah, apengawak manungsa, apasuryan padha bethara Kresna, awatak Baladewa, agegaman trisula wedha, jinejer wolak-waliking jaman, iku tandhane putra Bethara Indra wus katon, tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa, bala prewangan makluk alus padha baris, padha rebut benere garis, tan kasat mata, tan arupa, sing mandhegani putrane Bethara Indra, agegaman trisula wedha, momongane padha dadi nayaka perang, perange tanpa bala, sakti mandraguna tanpa aji-aji, apeparap pangeraning prang, tan pakra anggoning nyandhang, ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sapirang-pirang, idune idu geni, sabdane malati, sing mbregendhul mesthi mati, ora tuwa, enom padha dene bayi, wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada, garis sabda ora gantalan dina, beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira, tan karsa sinuyudan wong satanah Jawa, nanging inung pilih-pilih sapa, waskita pindha dewa, bisa nyumurupi laire mbahira, buyutira, canggahira, pindha lair bareng sadina, ora bisa diapusi marga bisa maca ati, wasis, wegig, waskita,ngerti sadurunge winarah, bisa pirsa mbah-mbahira, angawuningani jantraning jaman Jawa, ngerti garise siji-sijining umat, Tan kewran sasuruping jaman, ing ngarsa Begawan,dudu pandhita sinebut pandhita, dudu dewa sinebut dewa, kaya dene manungsa, iki dalan kanggo sing eling lan waspada, ing jaman kalabendu Jawa, aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa, cures ludhes saka braja jalma kumara, aja-aja kleru pandhita samusana, larinen pandhita asenjata trisula wedha, iku hiya pinaringaning dewa, nglurug tanpa bala, yen menang tan ngasorake liyan, para kawula padha suka-suka, marga adiling pangeran wus teka, ratune nyembah kawula, angagem trisula wedha, para pandhita hiya padha muja, hiya iku momongane kaki Sabdopalon, sing wis adu wirang nanging kondhang, genaha kacetha kanthi njingglang, nora ana wong nggresula kurang, hiya iku tandhane kalabendu wis minger, centi wektu jejering kalamukti, andayani indering jagad raya, padha asung bekti.” [5]

Berdasarkan pada bait-bait akhir Serat Musarar Jayabhaya di muka, kita dapat mengetahui bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang akan segera datang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, putra Bathara Indra. Artinya, Satriya Piningit Sang Ratu Adil merupakan keturunan dari seorang berhati mulia yang selalu memancarkan air kehidupan bagi sesamanya.  Memberikan minuman bagi orang-orang yang dahaga. Memberikan kesejukan jiwa bagi orang-orang yang kegerahan.\

Kedua, dewa berbadan manusia dan berparas Bhatara Kresna. Artinya, satriya Piningit Sang Ratu Adil yang berkulit hitam (sawo matang) adalah jelmaan Bhatara Wisnu atau manusia berasal dari Jawa. Karena Bhatara Kresna menjadi titisan Wisnu dan sekaligus sebagai andheng-andhenge jagad[6], maka Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang selalu pro aktif dalam hamemayu hayuning bawana[7] akan menjadi pusat perhatian dunia.

Ketiga, berjiwa Baladewa. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki jiwa jujur dan tegas. Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan memberi hukuman kepada orang-orang yang salah, sekalipun mereka adalah dari keluarga atau kelompoknya sendiri. Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan memberikan anugerah dengan pantas kepada orang-orang yang telah mengabdikan hidupnya pada bangsa dan negaranya. Di dalam menjalankan roda pemerintahannya, tidak ban cindhe ban siladan[8]. Tidak pernah pilih kasih.

Keempat, bersenjata Trisula Wedha. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil di dalam memimpin bangsa dan negaranya senantiasa berpedoman pada pengetahuan serta tiga landasan utama, yakni: berpikir logis, bertutur kata yang sopan, dan berbuat selaras dengan perkataannya. Terdapat penafsiran lain, ketiga landasan utama yang diterapkan oleh Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah ilmu, amal, dan iman.

Kelima, jika berperang tanpa pasukan dan sakti mandraguna tanpa azimat. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil selalu menundukkan musuh-musuhnya tanpa pasukan dan kekerasan. Hal ini menunjukkan, bahwa Satriya Piningit yang selalu menerapkan falsafah Jawa: “Aksara Jawa yen dipangku mati[9] lebih mengutamakan cinta dan pendekatan dialogis di dalam menghadapi pihak-pihak yang berseberangan.

Keenam, bBergelar perwira perang dan para pengasuhnya juga perwira perang. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil bergelar Senapati yang selalu membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Dengan demikian, para pembantunya juga selalu melakukan hal yang sama.

Ketujuh, berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang. Ludahnya ludah api. Sabdanya terbukti. Bagi yang membantah pasti mati. Artinya: sekalipun penampilannya kurang pantas dan sangat sederhana, namun Satriya Piningit Sang Ratu Adil dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya. Disamping itu, segala yang diucapkan oleh Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan menjadi kenyataan. Setiap orang yang tidak mempercayai ucapannya akan merasa malu di kemudian.

Kedelapan, tidak mau dihormati orang se-tanah Jawa. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak mau dipuji oleh siapa saja. Terutama pujian yang bertendensi menjilat. Itulah sifat orang Jawa yang bila dipuji justru akan seperti terlena dalam buaian. Hingga tidak waspada tentang bahaya yang mengancam di sekitarnya.

Kesembilan, tidak khawatir tertelan jaman. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak takut bila tidak tercatat dalam kitab sejarah. Tidak takut bila jabatannya sebagai pemimpin negeri kelak digantikan oleh orang lain. Karena pengabdiannya sebagai pemimpin negara memang tulus untuk rakyat. Bukan mencari ketenaran, pujian, harta-benda, kekuasaan, serta penghargaan apapun baik dari dalam maupun luar negeri.

Kesepuluh, bukan pendeta, namun disebut pendeta. Bukan dewa, namun disebut dewa. Ia adalah manusia biasa. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah manusia biasa dari kelurga biasa pula. Akan tetapi, kewibawaannya seperti seorang pendeta atau dewa. Sehingga banyak orang besar akan menghormatinya.

Kesebelas, Menyembah pada rakyat. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil merupakan pemimpin negara yang mempersembahkan tenaga dan pikirannya hanya untuk kepentingan rakyat. Pemahaman dari Satriya Piningit Sang Ratu Adil ini sejalan dengan pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yakni takhta untuk rakyat. Dimana pemimpin negara adalah abdi, sementara rakyatlah yang menjadi tuan. Sebagaimana raja agung yang harus dilayani dengan tulus.

Keduabelas, diasuh oleh Sabdapalon. Artinya: Satriya Piningit Sang Ratu Adil selalu menerapkan wejangan-wejangan yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup (Sabdapalon) di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin negara.

3. Serat Sabdaplon

Tidak hanya Wangsit Siliwangi dan Serat Musarar Jayabhaya, Serat Sabdapalon pula menyebutkan tentang ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Adapun salah satu bait Serat Sabdapalon yang menyebutkan ciri-ciri Satriya Piningit Sang Ratu Adil tersebut tertulis sebagai berikut:

“Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawa arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.” [10]

Dari salah satu bait di dalam Serat Sabdapalon tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Sebagai orang Jawa tulen yang bernama tua.
  • Memiliki pengetahuan yang sangat luas dan memadahi.
  • Diasuh oleh Sabdaplon. Artinya, selalu mengamalkan ajaran-ajaran luhur yang dapat diteladani oleh seluruh rakyatnya.
  • Sebagai guru orang-orang Jawa yang telah kehilangan jawanya. Artinya, ajaran yang diberikan bukan sebatas tata-cara, tradisi, dan kebudayaan Jawa; namun pula bagaimana menjadi orang Jawa yang berkepribadian Jawa.

4. Persepsi Ranggawarsita

Lain dengan Wangsit Siliwangi yang menyebut Satriya Piningit Sang Ratu Adil dengan Budak Pangon, Serat Musarar Jayabhaya dengan putra Bhatara Indra, Serat Centhini dengan Sultan Herucakra, atau Serat Sabdapalon dengan Orang Jawa Tulen Bernama Tua; R.Ng. Ranggawarsita menyebutnya dengan Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu. Artinya, Satriya Piningit Sang Ratu Adil dalam persepsi Ranggawarsita memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Sebagai ksatria yang sangat patuh terhadap ajaran agamanya. Hingga ia mendapatkan julukan pendeta. Penjunjung tinggi nilai-nilai religius pengamal ajaran-ajaran agama yang diyakininya.
  • Sebagai pemimpin yang selalu berpedoman pada petunjuk-petunjuk Illahi baik yang tersurat dalam kitab sinerat[11] maupun tersirat di dalam kitab gumelar[12].

5. Persepsi Tri Budi Marhaen Gunawan

Berdasarkan pada pandangan Tri Budi Marhaen Gunawan, bahwa seorang yang disebut dengan Budak Pangon (versi Wangsit Siliwangi), Putra Bhatara Indra (versi Serat Musarar), Sultan Herucakra (Serat Centhini), Orang Jawa Tulen Bernama Tua (Serat Sabdapalon), atau Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu (persepsi R.Ng. Ranggawarsita) adalah Sabdapalon itu sendiri.

Lebih jauh Tri Budi menyebutkan, bahwa Sabdapalon yang semula sebagai abdi Prabu Brawijaya (Raja Majapahit terakhir menurut versi Babad Tanah Djawi) tersebut ditafsirkannya sebagai Dang Hyang Nitratha. Beliau pula dikenal dengan nama Mpu Dwijendra, Pedanda Sakti Wawu Rawuh, atau Tuan Semeru. Seorang tokoh yang memiliki dua pusaka, yakni: Oumyang Majapahit (lambang daya atman) dan Ki Rancak (lambang daya Roh Kudus).

Bila persepsi dari Tri Budi tersebujt bisa diterima kebenarannya, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa Sabdapalon merupakan jiwa dari Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Sehingga Sabdapalon dan Satriya Piningit seperti sepasang mata uang yang tidak dipisahkan sebagaimana Semar dengan Pandhawa. Kesatuan makro-kosmis (jagad ageng) dan mikro-kosmis (jagad cilik) yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

C. Jati Diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil

Siapakah sejatinya Satriya Piningit Sang Ratu Adil? Demikian pertanyaan mendasar dari banyak kalangan yang tengah melacak kesejatian atau jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Pertanyaan yang akan mendapatkan jawaban dalam bab ini tentu saja meliputi: keberadaan, nama, serta gelar jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Sosok pemimpin ideal yang tengah ditunggu-tunggu kehadirannya oleh seluruh rakyat Nusantara.

1. Keberadaan jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil

Banyak orang yang berkecimpung di dalam laku spiritual mengatakan bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil hingga sekarang keberadaannya masih dirahasiakan oleh jaman. Namun pada waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan, Satriya Piningit Sang Ratu Adil bakal muncul. Menurut pandangan Tri Budi Marhaen Gunawan, Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang merupakan putra keturuan Jawa tersebut akan muncul pada saatnya. Kemunculannya tidak hanya untuk mengambil alih negeri ini saja, namun pula wilayah yang membentang dari India hingga Madagaskar. Dalam mengambilalihan negeri ini, Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak mengunakan jalan kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialogis dengan pihak-pihak yang berseberangan. Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorke[13].

Sekalipun masih dirahasiakan keberadaannya, salah satu ciri yang sangat menonjol dari Satriya Piningit Sang Ratu adalah memiliki budi pekerti luhur dan berjiwa kepemimpinan arif-bijaksana. Disamping itu, Satriya Piningit Sang Ratu Adil pula membawa ajaran tentang peradaban bangsa. Sehingga kepemimpinan Satriya Piningit Sang Ratu Adil tidak hanya disegani oleh seluruh rakyatnya, namun pula para pemimpin negara lain. Hingga muncullah suatu pandangan, apabila Satriya Piningit Sang Ratu Adil telah menjadi pemimpin negara, banyak negara dari wilayah Sunda Besar (Susununan Dunia Besar) akan dengan suka rela menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Nama dan gelar jati diri Satriya Piningit Sang Ratu Adil

Berdasarkan sumber yang diperoleh dari para pelaku kebatinan, bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki banyak nama jati diri. Semisal Tri Budi Marhaen Gunawan menyebut Satriya Piningit Sang Ratu Adil dengan nama Gapura Diningrat Panca Dinika yang bermakna pintu gerbang kehidupan guna membawa peradaban luhur bagi pengikutnya atau pengantar ke pintu gerbang pembentukan jati diri keningratan pada setiap insan yang terbentuk oleh kekuatan mandiri dalam implementasi keparipurnaan beragama, berbangsa, dan berbudaya.

Disamping nama, Satriya Piningit Sang Ratu Adil memiliki gelar jati diri.  Menurut Tri Budi Marhaen, gelar Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah Asma Putra Purana Saki Kirti yang bermakna seorang anak muda berpenduduk Jawa yang akan memimpin dunia. Lanjut Tri Budi, bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah seorang guru batin, guru bahasa, guru bumi, guru bicara, dan guru besar.

D. Tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil

Tuhan adalah penguasa semesta yang maha bijaksana. Dengan berpijak pada keyakinan ini, maka kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil niscaya memiliki tujuan yang sangat rahasia dan mulia. Menurut pandangan dari beberapa pihak, bahwa kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan menjadi khalifatullah di dalam hamemayu hayuning nuswantara. Perihal tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang akan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin negara adalah sebagai berikut:

1. Memperbaiki peradaban yang kacau balau

Oleh Satriya Piningit Sang Ratu Adil, tujuan untuk memperbaiki peradaban yang kacau balau akan mendapatkan prioritasnya. Mengingat sebelum ia menjabat sebagai pemimpin, peradaban negara dalam keadaan kacau-balau.

2. Membentuk tatanan-tatanan baru

Tujuan Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan membentuk tatanan-tatanan baru untuk menggantikan tatatan-tatanan lama yang cenderung menguntungkan pihak penguasa dan sangat merugikan pihak rakyat.

E. Satriya Piningit Sang Ratu Adil dan Unsur Alam

Kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil di bumi Nusantara senantiasa membawa kekuatan Tuhan, leluhur, dan empat unsur alam yang akan dijadikan sebagai senjata di dalam memimpin bangsa dan negara. Adapun keempat unsur alam tersebut, antara lain:

  • Air untuk menenggelamkan bagi yang memusuhinya.
  • Api untuk membasmi atau membumihanguskan keangkaramurkaan.
  • Tanah untuk mengutuk dan mengubur musuh-musuhnya.
  • Angin sebagai pelindung atau perisai.

F. Satriya Piningit Sang Ratu Adil dan Simbol

Telah disinggung di muka, bahwa kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu adil merupakan wakil Tuhan (khalifatullah) untuk memperbaiki peradaban dan membentuk tatanan-tatanan baru di bumi pertiwi. Disamping itu, kemunculan Satriya Piningit Sang Ratu Adil pula ditandai dengan tiga tahapan yang berupa simbol peristiwa (kejadian), antara lain:

1. Simbol Senapati

Pada tahapan Simbol Senapati, kemunculan Satriya Piningit akan ditandai dengan peristiwa bencana alam (gara-gara) yang menelan banyak korban jiwa. Peristiwa ini yang kemudian memotivasi kepada Satriya Piningit Sang Ratu Adil untuk segera meredamkannya.

2. Simbol Bojonegoro

Pada tahapan Simbol Bojonegoro, Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang mampu meredam bencana alam (gara-gara) tersebut akan membawa kehidupan aman, damai, dan tentram bagi seluruh rakyatnya.

3. Simbol Natanegara

Pada tahapan Simbol Natanegara, Satriya Piningit Sang Ratu Adil akan melaksanakan tatanan-tatanan baru di dalam negaranya. Pada tahapan ini, para leluhur terdahulu dan beo-beo akan menyampaikan pesan pada Satriya Piningit Sang Ratu Adil. Melalui hubungan antara Satriya Piningit, para leluhur, dan beo-beo (binatang) ini akan menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang sangat dinamis. [Ummi Azzura Wijana/Sekar Pandanwangi]

 

Catatan Kaki:

[1]  Terjemahan dari kutipan Wangsit Siliwangi tersebut adalah sebagai berikut: “Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang menjadi sejarah baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

[2] Terjemahan dari kutipan Wangsit Siliwangi tersebut adalah sebagai berikut: “Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

[3] Terjemahan dari Serat Musarar Jayabhaya bait ke-27 adalah sebagai berikut: “Kemudian kelak akan datang tunjung putih semune pudhak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”

[4] Terjemahan dari Serat Musarar Jayabhaya bait ke-28 adalah sebagai berikut: “Raja utusan waliyullah. Beristana dua yakni di Mekah dan di tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Sungguh seorang pemimpin negara yang terkenal sedunia.”

[5] Terjemahan dari Serat Musarar Jayabhaya pada bait-bait terakhirnya tersebut adalah sebagai berikut: “Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sengkalan: dewa wolu, ngasta manggalaning ratu), akan ada dewa tampil, berbadan manusia, berparas seperti Bhatara Kresna, berwatak seperti Baladewa, bersenjata trisula wedha, tanda datangnya perubahan jaman, itulah tanda putra Bhatara Indra sudah nampak, datang di bumi untuk membantu orang Jawa, pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar, tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Bhatara Indra, bersenjatakan trisula wedha, para asuhannya menjadi perwira perang, jika berperang tanpa pasukan, sakti mandraguna tanpa azimat, bergelar pangeran perang, kelihatan berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang, ludahnya ludah api, sabdanya terbukti, yang membantah pasti mati, orang tua, muda maupun bayi, orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi, garis sabdanya tidak akan lama, beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta mentaati sabdanya, tidak mau dihormati orang se-tanah Jawa, tetapi hanya memilih beberapa saja, pandai meramal seperti dewa, dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggahmu, seolah-olah lahir di waktu yang sama, tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati, bijak, cermat dan sakti, mengerti sebelum sesuatu terjadi, mengetahui leluhurmu, memahami putaran roda jaman Jawa, mengerti garis hidup setiap umat, tidak khawatir tertelan jaman, di hadapan Begawan, bukan pendeta disebut pendeta, bukan dewa disebut dewa, namun manusia biasa, inilah jalan bagi yang ingat dan waspada, pada jaman kalabendu Jawa, jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa, yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga, jangan keliru mencari dewa, carilah dewa bersenjata trisula wedha, itulah pemberian dewa, menyerang tanpa pasukan, bila menang tak menghina yang lain, rakyat bersuka ria, karena keadilan Yang Kuasa telah tiba, raja menyembah rakyat, bersenjatakan trisula wedha, para pendeta juga pada memuja, itulah asuhannya Sabdopalon, yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur, segalanya tampak terang benderang, tak ada yang mengeluh kekurangan, itulah tanda jaman kalabendu telah usai, berganti jaman penuh kemuliaan, memperkokoh tatanan jagad raya, semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.”

[6]  Tai lalat dunia (pusat perhatian dunia).

[7]  Menjaga keselamatan keasrian alam.

[8]  Membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.

[9]  Aksara Jawa kalau dipangku mati.

[10] Terjemahan dari salah satu bait Serat Sabdapalon tersebut adalah sebagai berikut: “Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua, berpegang pada kawruh Jawa, ya itulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawa yang telah kehilangan Jawa-nya akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”

[11] Kitab suci yang tertulis, seperti: Al-Qur’an, Injil, Weda, Tripitaka, dan kitab suci lainnya.

[12]  Kitab tergelar yang dimaksud adalam alam semesta.

[13]  Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan.

Sumber teks:

Achmad, Sri Wintla. 2015. Satria Piningit: Menyingkap Falsafah Ratu Adil, Yogyakarta: Araska.

Sumber Foto

BABAD TANAH JAWI: SERI BRAWIJAYA (4)

BONDAN KEJAWAN DAN BERDIRINYA KADIPATEN BINTARA*)

 

Raja Brawijaya gering karena kelaminnya digerogoti penyakit rajasinga. Dari para nujum yang dipanggil di dalam istana, Brawijaya disarankan untuk melakukan saresmi dengan seorang putri wandhan dari negeri Cempa. Sesudah melaksanakan saran dari para nujum itu, Brawijaya sembuh dari penyakitnya.

p1010574

Sembilan bulan sepuluh hari, putri wandhan yang mengandung benih Brawijaya itu melahirkan seorang putra. Karena tidak menghendaki putranya, Brawijaya menyerahkan anak itu kepada Buyut Masahar sembari menyampaikan pesan. Isi pesan Brawijaya: “Bila putraku telah genap berusia sewindu hendaklah dibunuh!”  Sebagai orang kecil, Ki Buyut Masahar bersedia untuk memenuhi titah sang raja.

Semasa putra Brawijaya yang diberi nama Bondan Kejawan itu berusia 7  tahun, Ki Buyut Masahar ingin membunuhnya. Namun, kehendaknya itu diurungkan. Karena membunuh Bondan Kejawan, Ki Buyut Masahar harus kehilangan istrinya yang ingin bela pati pada putra angkatnya itu. Dengan tekad bulat, Ki Buyut Masahar menghadap raja. Mengatakan bahwa putranya telah tewas. Brawijaya mempercayai laporan Ki Buyut Masahar yang dikenal kejujurannya itu.

***

Selepas Ki Buyut Masahar, Brawijaya menanyakan kepada seluruh punggawa-nya tentang seseorang yang telah berani membangun pedukuhan di wilayah Bintara. Adipati Terung menjawab, bahwa orang itu adalah saudaranya. Karenanya Brawijaya memerintahkan kepada Adipati Terung untuk memanggil orang yang tidak lain bernama Raden Patah itu.

Adipati Terung melaksanakan perintah Brawijaya. Berangkat ke Pedukuhan Bintara untuk memanggil Raden Patah. Didampingi oleh Adipati Terung, Raden Patah menghadap Brawijaya. Dari raja Majapahit, Raden Patah tidak mendapatkan hukuman, melainkan anugerah yakni menjadi adipati di Bintara.

***

Pulanglah Raden Patah ke Pedukuhan Bintara. Lambat-laun, Pedukuhan Bintara yang telah resmi menjadi kadipaten itu mengalami suatu perkembangan signifikan. Kadipaten Bintara yang semula sepi menjadi ramai. Menjadi tempat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang dari manca negara. Dari sinilah, titik awal Kadipaten Bintara mulai menunjukkan eksistensinya sebagai bakal kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa. Sebagaimana matahari yang mulai memancarkan sinarnya dari balik bentangan bukit timur. (uaw/plt)

 

*) Disarikan dari Babad Tanah Djawi, Balai Pustaka, Betawi Sentrem, 1939.

Sumber Foto:

MENYINGKAP MITOS SUNGAI SERAYU

Serayu merupakan salah satu sungai di Pulau Jawa. Sungai tersebut mengalir dari hulu Tuk Bima Lukar di Pegunungan Dieng (Jawa Tengah), hingga bermuara di laut selatan yang berdekatan dengan Gunung Srandil di wilayah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. Dari hulu Tuk Bima Lukar, Sungai Serayu yang mengalir serupa urat nadi dalam kehidupan manusia tersebut melintasi lima wilayah kabupaten di Jawa Tengah, antara lain: Banjarnegara, Wanasaba, Purbalingga, Banyumas (Purwakerta), dan Cilacap.

banjarnegara-serayu-river
Sungai Serayu.

Menurut sebagian masyarakat, Sungai Serayu memiliki mitos yang berkaitan dengan proses terjadinya serta penamaannya. Berkaitan dengan proses terjadinya sungai Serayu berorientasi pada kisah Bima, putra Pandu Dewanata yang lahir dari rahim Dewi Kunthi Nalibrata. Bima merupakan salah seorang murid Bathara Bayu. Bima adalah panglima perang dari Negeri Amarta saat terjadi Perang Bharata (Bharatayuda) di padang Kurukasetra.

 

 

Sebagai ksatria yang berjiwa sentosa, jujur, dan keras kepala; Bima tidak mudah ditundukkan setiap hasratnya. Karenanya sewaktu Bima ingin mendapatkan tirta perwitasari di dasar samudra; tak seorang pun dari keluarga Pandhawa, Anoman (kadang Bayu), dan Kunthi ibunya sendiri tak mampu mengurungkan hasratnya.

Dengan sepenuh keyakinan, Bima yang telah mendapatkan petunjuk dari Resi Kumbayana (Druna) berangkat ke laut selatan untuk mendapatkan tirta perwitasari. Sewaktu melangkah menuju laut selatan, langkah Bima meninggalkan jejak-jejak berlubang yang kemudian menjadi sungai yang panjang, lebar, dan dalam. Sungai itulah yang dikenal oleh masyarakat sebagai Sungai Serayu.

Sementara berkaitan dengan penamaan Sungai Serayu berorientasi pada penuturan dari masyarakat. Menurut masyarakat, nama Serayu berasal dari dua kata Jawa, yakni sira (Anda) atau sirah (kepala) dan ayu (cantik). Dengan demikian nama Serayu memiliki makna ‘Anda yang berparas cantik’ atau ‘kepala dengan wajah yang cantik’. Adapun kisah yang melatar-belakangi penamaan Sungai Serayu, sebagai berikut:

Pada masa pemerintahan Kesultanan Demak Bintara, hiduplah seorang sunan yang sakti mandraguna dan sekaligus menguasai ilmu agama. Sunan yang merupakan anggota Majelis Dakwah Walisanga itu bernama Sunan Kalijaga. Beliau adalah putra Tumenggung Wilwatikta dari Kadipaten Tuban yang memiliki nama asli Raden Said.

Sebagai seorang sunan yang memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa, Kalijaga sering menghabiskan waktunya untuk melakukan pengembaraan, dan tinggal dari tempat satu ke tempat lainnya.

Manakala perjalanannya terbentur pada tepian sungai yang lebar dan dalam, Sunan Kalijaga menyaksikan kepala perempuan berwajah cantik yang muncul tiba-tiba di tengah permukaan sungai. Dari peristiwa yang dialaminya, Sunan Kalijaga menamakan sungai itu adalah Sungai Serayu.

Semar, Penjaga Sungai Serayu

Di Pegunungan Dieng yang merupakan hulu Sungai Serayu tersebut, terdapat sejumlah candi yang menggunakan nama tokoh wayang, di antaranya: Candi Yudhistira, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Gathotkaca, dan Candi Bisma.

https-2F2Fcdn.evbuc_.com2Fimages2F172927052F1425869474392F12Foriginal
Kompleks wisata Dieng, Jawa Tengah.

Selain candi-candi di muka, Pegunungan Dieng yang merupakan hulu Sungai Serayu pula memiliki Candi Semar. Sementara di Gunung Srandil sendiri yang berdekatan dengan hilir Sungai Serayu, terdapat patung Semar. Di mana patung tersebut dijadikan sebagai penandaan tempat turunnya Semar (Sang Hyang Bathara Ismaya) dari kahyangan Jong Giri Saloka ke Mercapada (tanah Jawa) yang berada di titik puncak Gunung Srandil .

D64G7564
Para peziarah tengah duduk bhersila di depan petilasan Semar, Gunung Srandil. 

Bila menilik dari situs yang ada yakni Candi Semar di Pegunungan Dieng dan patung Semar di Gunung Srandil, maka keberadaan Sungai Serayu tidak dapat dilepaskan dengan eksistensi dewa kang apawak manungsa (dewa berwujud manusia) tersebut. Dewa yang menyamar sebagai kawula berwatak sederhana, jujur, sabar, rendah hati, berbelas kasih, mencintai pada sesama, dekat dengan keutamaan dan jauh dari keangkaramurkaan, serta tidak terlalu susah bila mendapat cobaan dan tidak terlalu gembira bila mendapat keberuntungan.

Dari sini dapat diasumsikan kalau Sungai Serayu merupakan sungai suci yang bukan sekadar memberikan penghidupan bagi manusia secara tulus, namun memiliki makna simbolik yang sangat dalam. Di mana sungai tersebut dapat dimaknai sebagai cinta kasih suci yang mengalir terus-menerus dari sang bapa atau lingga (Pegunungan Dieng) pada sang biyung atau Yoni (Laut Selatan).

Karenanya tak heran, bila masyarakat yang hidup di kiri-kanan sepanjang Sungai Serayu selalu melakukan upacara tradisi Sedekah Bumi. Upacara ini ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas cinta kasih berwujud air kehidupan yang diberikan oleh Tuhan melalui sungai tersebut. Selanjutnya air kehidupan tersebut tidak hanya berguna bagi petani untuk menumbuh-kembangkan tanaman di ladang atau sawahnya, namun pula untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.

Kesimpulan

Berangkat dari mitos kejadian dan penamaan, serta situs Semar yang berada di hulu dan hilir Sungai Serayu dapat dipetik berbagai kesimpulan, antara lain: pertama, bila ditilik dari mitos kejadian, maka Sungai Serayu dapat dimaknai sebagai mozaik laku transendental Bima (manusia) yang ingin memahami ilmu sangkan-paraning dumadi (asal dan tujuan hidup). Ilmu yang merupakan kunci di dalam mendapatkan pemahaman ilmu manunggaling kawula-Gusti yang merukan gerbang menuju paripurnaning dumadi.

Kedua, bila ditilik dari mitos penamaan, Serayu merupakan sungai yang berkarakter wanita (beraliran lembut, jernih, dan bening). Karena berkarakter wanita, Serayu tidak seperti sungai-sungai berhulu dari kaki gunung berapi yang berkarakter garang dan menimbulkan bencana banjir lahar dingin yang dapat membinasakan kelangsungan hidup manusia dan menghancurkan lingkungan sekitarnya.

Ketiga, bila ditilik dari situs Candi Semar di Pegunungan Dieng (hulu sungai) dan patung Semar di Gunung Srandil (hilir sungai), maka keberadaan Sungai Serayu senantiasa mendapatkan perlindungan dari Semar (Sang Hyang Ismaya). Sosok dewa apawak manungsa yang selalu menjaga keselarasan hubungan kosmis, yakni: mikrokosmis (orang-orang di kiri-kanan sepanjang tepian sungai) dan makrokosmis (sungai yang merupakan dari alam tersebut). [uaw/plt]

 

Sumber Foto:

MENGUAK MISTERI GUNUNG TIDAR

Perundingan Gunung Tidar

dalam Sejarah  Islam di Pulau Jawa

 

Kota Magelang memiliki beberapa julukan, seperti Kota Harapan, Kota Sejuta Bunga, Kota Pensiun, Kota Gethuk, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan banyak hal yang bisa dieksplorasi di Kota Magelang yang dikelilingi tujuh gunung, yakni: Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindara, Andong, Telamaya, dan Tidar. Sehingga suasana kota ini sangat nyaman dan sejuk. Oleh karenanya saat masa pensiun datang, banyak orang pulang ke Kota Magelang.

94234594050gunung-tidar.jpg
Pintu gerbang tempat ziarah Gunung Tidar, Magelang.

Di tengah Kota Magelang, terdapat Gunung Tidar. Banyak peziarah berdatangan di gunung yang dikenal dengan Pakuning Tanah Jawa. Di gunung tersebut, terdapat makam Syekh Subakir, Kiai Sepanjang, dan Kiai Semar yang selalu dikunjungi para peziarah menjelang bulan Ramadhan. Dimulai sejak bulan Rajab dan puncaknya jelang Ramadhan. Saat malam 1 Muharam, tempat ini pula dikunjungi oleh banyak peziarah.

Bukit Tidar Magelang.jpg
Gunung Tidar tampak dari kejauhan.

Kiai Semar

Kiai Semar atau Badranaya terkenal dalam kisah pewayangan yang diwariskan Sunan Kalijaga. Konon Sunan Kalijaga pernah bertemu dengannya, sehingga terinspirasi untuk memasukkan tokoh Semar dalam jagad pakeliran Jawa (cerita carangan). Masyarakat Jawa meyakini bahwa Semar memiliki bayangan yang kemudian menjelma sebagai tokoh Bagong atau Bawor. Semar pula dianggap sebagai ayah angkat dari tokoh Gareng dan Petruk.

37.jpg
Petilasan Kiai Semar.

Sebenarnya siapa Badranaya? Kenapa dia bisa berada di Gunung Tidar? Pertanyaan ini harus dijawab, agar kita memiliki tujuan yang jelas ketika berziarah di Gunung Tidar.

Dikisahkan bahwa Kiai Semar yang identik dengan Badranaya bermula dari nama Inana Badranaya, seorang biksu Buddha yang pernah mengabdi di Kerajaan Tarumanegara. Setelah Tarumanegara runtuh, dia melakukan pengembaraan hingga wilayah timur. Dari satu tempat hingga tempat lain, dari satu gunung ke gunung lain. Suatu saat, dia sampai di Gunung Srandil (Cilacap). Dari sana, dia melihat Gunung Tidar yang sering disebut Gumuk Lintang.  

Di Gunung Srandil, Inana Badranaya melakukan tarak brata. Sesudah moksa, dia menitis atau bereinkarnasi pada tokoh Kerajaan Medang Kamulan. Pada zaman Majapahit, dia menitis pada seorang abdi bernama Sapu Angin atau Sapu Jagad. Menjelang runtuhnya Majapahit, dia menitis pada seorang abdi bernama Sabda Palon atau Nayagenggong (Serat Darma Gandhul).

Sesudah moksa, sukma Inana Badranaya menjadi penguasa bangsa bekasakan. Bersama Kiai Togog (Babad Tanah Jawa), dia yang dikenal dengan Kiai Semar mendapat laporan dari bangsa bekasakan bahwa kondisi Gunung Tidar berubah panas sesudah kedatangan Syekh Subakir. Sesudah melakukan perdebatan hingga berujung pada perundingan, dia memersilakan kepada salah seorang anggota Majelis Dakwah Walisanga periode I dari Turki itu untuk melakukan dakwah Islam di Pulau Jawa asal tidak melakukan pemaksaan.

Kiai Sepanjang

DSC_0231.JPG
Makam Kiai Sepanjang. 

Satu lagi makam Kiai Sepanjang berada di Gunung Tidar. Makam Kiai Sepanjang memiliki panjang tujuh meter. Kiai Sepanjang merupakan senjata Syekh Subakir berupa rajah Kalacakra atau tombak. Pada saat terjadi perdebatan dengan Inana Badranaya, senjata yang ditancapkan di area Gumuk Lintang ini digunakan untuk mengalahkannya.

Syekh Subakir

Syekh Subakir dalam sejarahnya merupakan waliyullah, seorang tokoh yang berperan besar semasa Majelis Dakwah Walisanga periode I. Syekh Subakir berasal dari Turki yang diamanahi untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa memiliki keyakinan Buddha dan Hindu, sehingga diutuslah Syekh Subakir untuk menyampaikan ajaran Islam.

1551000kera-gunung-tidar780x390
Pengunjung tempat wisata religi Gunung Tidar, Magelang.

Suatu hari, Syekh Subakir mendengar kabar bahwa di Gumuk Lintang dikabarkan dikuasai seorang danyang Pulau Jawa. Sebagai utusan penyebar agama Islam, hal ini merupakan penghalang keimanan kepada Allah. Akhirya dia pergi ke Gumuk Lintang. Terjadilah perdebatan antara dirinya dengan Inana Badranaya. Ketika tak dapat mengalahkan danyang tersebut, Syekh Subakir bersemedi dan menyepi di Gumuk Lintang selama 40 hari.

Pada akhirnya, Syekh Subakir datang, pulang, dan kembali bersama para santrinya dengan membawa senjata rajah Kalacakra beserta tombak. Konon untuk mengalahkan Inana Badranaya, tombak sepanjang tujuh meter yang kemudian disebut Kiai sepanjang itu dibuka dan ditancapkan di Gumuk Lintang. Dibukanya senjata di Gumuk Lintang itu menjadi asal muasal nama Gunung Tidar. Maknanya Peti diudhar, yaitu peti penyimpan senjata Syekh Subakir diudhar (dibuka). Sejak saat itulah, Inana Badranaya yang kemudian disebut Kiai Semar beserta bangsa bekasakan meninggalkan Gumuk Lintang.

Catatan Akhir

Baik dari sisi Inana Badranaya maupun sisi Syekh Subakir memiliki versi mengenai perdebatan kekuasaan Gumuk Lintang atau Gunung Tidar. Syekh Subakir di muka merupakan tokoh Islam. Sedangkan Inana Badranaya yang merupakan tokoh Buddha itu mengizinkan Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di Gumuk Lintang khususnya dan Pulau Jawa umumnya tanpa melalui pemaksaan. Selain itu, Syekh Subakir tak diperkenankan untuk menghilangkan ajaran sebelumnya yaitu ajaran dari para leluhur Jawa. [Ummi Azzura Wijana]

 

Sumber Gambar

BABAD TANAH JAWI: SERI BRAWIJAYA (3)

RADEN PATAH DAN RADEN KUSEN*

Inilah kisah dari negeri Palembang. Putri Cempa telah melahirkan putra dari benih Prabu Brawijaya (raja Majapahit) yang kemudian diberi nama Raden Patah (dalam sejarah, dikenal dengan nama Jin-bun). Sesudah melahirkan anak pertama, Putri Cempa yang menikah dengan Arya Damar alias Arya Dilah (raja Palembang) itu melahirkan putra bernama Raden Kusen.

bjng rtu.jpg
Trowulan, bekas pusat pemerintahan Majapahit. 

Karena tidak berkenan untuk dijadikan raja di Palembang, Raden Patah yang diikuti Raden Kusen bermaksud pergi ke tanah Jawa. Di tengah hutan belantara, mereka dihadang oleh dua begal bernama Supala dan Supali. Karena kesaktiannya, mereka berhasil menaklukkan kedua begal itu. Perjalanan menuju tanah Jawa, mereka menaiki perahu. Setiba di Ampeldenta (Surabaya), mereka mengahadap Sunan Ampel.

paku_buwono_1.jpg
Raden Patah.

Sesudah beberapa hari tinggal di Ampeldenta, Raden Kusen ingin mengabdi di Majapahit. Oleh Prabu Brawijaya, pengabdian Raden Kusen diterima dengan baik. Kelak Raden Kusen mendapatkan kedudukan yang tinggi dari Brawijaya sebagai adipati di Terung. Dengan demikian, Raden Kusen dikenal dengan Adipati Terung.

sa.png
Sunan Ampel.

Sementara, Raden Patah yang tetap belajar ilmu agama pada Sunan Ampel kemudian dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ni Gede Maloka. Sesudah menikah, Raden Patah disarankan oleh Sunan Ampel untuk berjalan ke arah barat dan mencari tempat yang beraorma harum. Tempat beraroma harum yang kemudian disinggahi Raden Patah itu bernama Hutan Bintara.

foto-masjid-agung-tampak-depan.jpg
Masjid Agung Demak.

Lambat-laun, Hutan Bintara yang dibuka Raden Patah mengalami kemajuan hingga menjadi pedukuhan. Kelak, Pedukuhan Bintara yang merupakan bawahan Majapahit itu menjadi negeri merdeka dan dikenal dengan Kesultanan Demak Bintara. Inilah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. (uaw/plt)

*) Disarikan dari Babad Tanah Djawi, Balai Pustaka, Betawi Sentrem, 1939. 

Foto:

BABAD TANAH JAWI: SERI BRAWIJAYA (2)

ARYA DILAH*

Di dalam hutan belantara, hiduplah sepasang raksasa laki-laki dan perempuan yang masih bersaudara sedarah. Kepada raksasa laki-laki, raksasa perempuan yang masih merupakan adik kandungnya itu mengatakan bahwa ia ingin menjadi istri Brawijaya, raja Majapahit. Mendengar penuturan adiknya, raksasa laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Ia mengatakan mustahil, kalau Brawijaya bersedia menjadi suami adik kandungnya yang berwajah sangat buruk, berambut gimbal, dan bertaring sebesar pisang ambon itu.

brawijya
Patung Prabu Brawijaya.

Merasa dilecehkan oleh kakaknya, raksasa perempuan itu seketika berubah wujud menjadi perempuan senampak bidadari dari Kahyangan Jong Giri Saloka. Melihat adiknya berubah cantik menawan, raksasa laki-laki itu kemudian meyakini kalau Brawijaya akan jatuh cinta kepadanya. Tidak lama kemudian, sang putri pindha warni yang bernama Ni Endang Sasmitapura itu meninggalkan hutan. Pergi ke Kerajaan Majapahit.

Setiba di tlatah Majapahit, Ni Endang Sasmitapura mampir di pasar. Sontak perhatian para lelaki bermata keranjang yang berada di pasar tertuju kepada Ni Endang. Demikian pula Patih Gajah Permada yang sontak turun dari gigir kuda itu mendekati Ni Endang. Menanyakan tentang nama dan tujuan perjalanannya. Dengan sikap santun, Ni Endang menyebutkan nama dan tujuan perjalanannya, yakni ingin mengabdi kepada Brawijaya.

Mendengar penuturan Ni Endang Sasmitapura, Patih Gajah Permada segera menghadapkan perempuan itu pada Brawijaya. Lantaran kecantikan paras Ni Endang, Brawijaya menjadikannya sebagai selir. Sesudah mengandung, Ni Endang berubah wujud menjadi raksasa. Oleh Brawijaya, Ni Endang diusir dari istana. Dengan wajah yang diliputi rasa malu, Ni Endang kembali memasuki hutan.

Sesudah genap sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah bayi dari kandungan Ni Endang Sasmitapura. Oleh Ni Endang, bayi berwujud manusia berparas tampan itu diberi nama Arya Dilah. Sesudah dewasa, anak itu bertanya kepada Ni Endang tentang siapakah ayahnya. Ni Endang menjawab, kalau ayahnya adalah Brawijaya, raja Majapahit. Karenanya, Arya Dilah kemudian ingin menghambakan diri pada Brawijaya. Dengan senang hati, Ni Endang merestuinya .

majapahit2.jpg
Trowulan, bekas pusat pemerintahan Majapahit.

Berangkatlah Arya Dilah ke Kerajaan Majapahit. Di hadapan Brawijaya, Arya Dilah mengutarakan isi hatinya. Brawijaya sanggup menerima pengabdian Arya Dilah asal dapat mendatangkan hewan hutan, seperti: kerbau, banteng, dan kijang. Arya Dilah pulang untuk meminta bantuan ibunya. Melalui Ni Endang, permohonan Brawijaya itu dipenuhi. Melihat kerbau, banteng, dan kijang telah berkumpul di alun-alun; Brawijaya menerima pengabdian Arya Dilah.

Di kemudian hari, Arya Dilah yang berubah nama Arya Damar itu dinobatkan oleh Brawijaya sebagai raja bawahan Majapahit di tlatah Palembang. Bahkan Arya Damar mendapatkan triman putri Cempa yang telah mengandung benih dari Brawijaya. Alasan Brawijaya memberikan putri Cempa kepada Arya Damar, karena permaisuri Dwarawati tidak menghendaki putri Cempa tinggal di dalam istana. (uaw/plt)

 

*) Disarikan dari Babad Tanah Djawi, Balai Pustaka, Betawi Sentrem, 1939.

Sumber Gambar:

 

BABAD TANAH JAWI: SERI BRAWIJAYA (1)

PAJAJARAN RUNTUH, JAKA SESURUH MENJADI RAJA*

 

Sesudah menjadi raja Pajajaran, Siyungwanara menaklukkan Kerajaan Galuh. Arya Bangah (raja Galuh) yang dapat lolos dari kepungan musuh berlari ke Pedukuhan Majapahit. Meminta perlindungan kepada Jaka Sesuruh yang masih saudaranya. Tanpa berpikir jauh, Jaka Sesuruh yang mendapatkan dukungan dari Ki Nambi, Ki Wiro, dan Ki Bandara menyerbu Kerajaan Pajajaran.

brawijya

Dalam pertempuran antara Kerajaan Pajajaran dan Pedukuhan Majapahit itu, Jaka Sesuruh dapat menaklukkan Siyungwanara. Sepeninggal Siyungwanara, Jaka Sesuruh menjadi raja di Majapahit. Ki Bandara menjadi patih dengan gelar Arya Wahan. Sementara Ki Nambi dan Ki Wiro menjabat sebagai mantri.

Sepeninggal Jaka Sesuruh, Prabu Anom putranya naik tahta. Sewaktu akan berburu banteng di hutan, Arya Wahan melarangnya karena raja belum cukup dewasa. Karena murkanya, Prabu Anom memerintahkan pada Ujung Sabata untuk membunuh Arya Wahan dengan keris Kyai Jangkungpacar. Melalui Ujung Sabata, Arya Wahan tewas dibunuh pada saat malam hari.

Meninggalnya Patih Arya Wahan membuat murka putranya, yakni Patih Udara yang tinggal di wilayah Kadiri. Melalui Patih Udara, Prabu Anom tewas di medan pertempuran. Sepeninggal Prabu Anom, Adaningkung putranya menjabat sebagai raja Majapahit.

Sesudah menikah, Adaningkung memiliki putra bernama Hayam Wuruk yang menurut sejarah merupakan raja terbesar dan tersohor di Majapahit. Hayam Wuruk memiliki putra bernama Lembu Amisani yang kelak menjabat sebagai raja Majapahit dengan Patih Demangwular. Lembu Amisani memiliki putra bernama Bratanjung. Bratanjung memiliki putra bernama Raden Alit. Raden Alit memiliki putra bernama Brawijaya yang kelak menjabat sebagai raja Majapahit dengan Patih Gajah Permada.

Suatu malam, Brawijaya bermimpi memiliki istri yakni sang putri dari Negeri Cempa. Karenanya, Brawijaya segera mengutus Patih Gajah Permada untuk melamar sang putri dari raja Cempa. Beserta rombongan, Gajah Permada berangkat ke Negeri Cempa dengan kapal.

Singkat cerita, lamaran Gajah Permada itu diterima dengan baik oleh raja Cempa. Tidak lama kemudian, pernikahan antara Brawijaya dengan sang putri dari Negeri Cempa itu berlangsung. Dari rahim sang putri Cempa, Brawijaya kelak memiliki seorang putra bernama Raden Patah. Menurut sejarah, Raden Patah kelak menjadi raja di Kesultanan Demak Bintara. (uaw/plt)

*) Disarikan dar Babad Tanah Djawi, Balai Pustaka, Betawi Sentrem, 1939

Sumber gambar:

Riwayat Majapahit Berujung di Pantai Ngobaran

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan atau Majakerta (Jawa Timur) berakhir pada pertengahan abad 15. Lemahnya pemerintahan memicu runtuhnya kerajaan. Dibarengi dengan berdirinya kerajaan Islam di pesisir utara Pulau Jawa. Kerajaan Islam tersebut adalah Kesultanan Demak Bintara yang dipimpin oleh Raden Patah (Sultan Jin-bun) putra Prabu Brawijaya V. Pesatnya perkembangan Kesultanan Demak Bintara, mendesak Prabu Brawijaya, yang memerintah waktu itu, bersama salah seorang putranya hidup berpindah-pindah.

 

IMG_4111
Salah satu tempat peribadatan di Pantai Ngobaran. (Doc. Ummi Azzura Wijana)

Untuk bersembunyi dari kejaran pasukan Kesultanan Demak Bintara, Prabu Brawijaya V berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, hingga berakhir di daerah Gunungkidul. Tepatnya di Pantai di ujung barat yang berbatasan dengan Yogyakarta. Bersama dengan salah seorang putranya, Pangeran Kejawan (Bondan Kejawan), Prabu Brawijaya bertahan di desa pinggir pantai tersebut.

Muasal Pantai Ngobaran

Sebelum kedatangan Prabu Brawijawa dan Pangeran Kejawan, pantai ini tak bernama. Hingga suatu hari, Prabu Brawijaya dan Putranya itu terpojok. Diburu dan akhirnya dikepung pasukan dari Kesultanan Demak Bintara. Posisi Prabu Brawijaya yang sudah berada di pinggir laut tak dapat menyelamatkan diri. Daripada menyerah begitu saja lebih baik ia membakar diri.

Pada waktu sebagai pelarian, Prabu Brawijaya pula membawa kedua istrinya, Bondang Surati (istri pertama) dan Dewi Lowati (istri kedua). Kepada kedua istrinya, Prabu Brawijaya bertanya, “Sebesar apa cintamu kepadaku, Surati?”

“Sebesar gunung, Kangmas Prabu.”

“Lantas…, sebesar apa cintamu kepadaku, Lohwati?”

“Sebesar kuku hitam, Kangmas Prabu,”

“Apa maknanya?”

“Bila dipotong pagi, kuku akan tumbuh sore hari. Bila dipotong sore, kuku akan tumbuh pagi hari. Cintaku pada Kangmas Prabu abadi. Tak hanya di alam fana, tetapi di alam kelanggengan.”

Tanpa berpikir panjang, Prabu Brawijaya menarik tangan Lohwati, menceburkan diri ke dalam kobaran api. Karena Prabu Brawijaya menganggap cinta Lohwati adalah abadi. Tidak sebagaimana cinta Bondang Surati yang akan digerus waktu hingga punah pada akhirnya.

Dari peristiwa cinta sehidup semati antara Prabu Brawijaya dan Lohwati yang berakhir di tengah kobaran api inilah kemudian memunculkan nama Ngobaran. suatu nama yang berasal dari kata “kobar” atau api yang berkobar. Tempat Prabu Brawijaya mengakhiri hidupnya bersama Lohwati dengan cara pati obong. 

Penganut Kejawan

Bicara Kejawan, Pantai Ngobaran digunakan oleh masyarakat penganut kepercayaan sebagai tempat peribadatan. Tempat ini digunakan sebagai tempat peribadatan bagi mereka juga tidak terlepas dari sejarah pelarian Prabu Brawijaya V dan Pangeran Kejawan. Kala itu, Prabu Brawijaya penganut Hindu tidak ingin diIslamkan oleh Raden Patah hingga akhirnya menyingkir sampai Gunungkidul tepatnya di Pantai Ngobaran.

Pangeran Kejawan, sang pangeran sering melakukan semedi di tempat itu. Bermula dari situlah akhirnya muncul kepercayaan masyarakat yang dinamai penganut kepercayaan Kejawan. Hingga sekarang tempat itu digunakan sebagai pemujaan oleh masyarakat Kejawan pada malam Selasa dan Jumat.

Terlepas dari sejarah Prabu Brawijaya V tersebut, Pantai Ngobaran yang sepaket dengan Pantai Ngrenehan dan Nguyahan bisa dikatakan Balinya Jawa. Karena, pantai yang berada di wilayah Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ada suatu pura yang mirip dengan pura di Tanah Lot di atas batu karang yang berada di bibir pantai. Bukan sekadar pemanis pantai, tapi pura ini juga digunakan oleh para penganut agama Hindu untuk beribadah. Di pantai ini pula, Umat Hindu melakukan upacara Galungan pada setiap purnama. Selain itu juga melakukan upacara Melastri yang merupakan rangkaian dari upacara Galungan.

Di tepi pantai Ngobaran juga terdapat tempat ibadah berbentuk stupa. Tempat ibadah ini digunakan oleh umat Buddha untuk melakukan peribadatan. Tempat peribadatan ini tertutup oleh pagar namun bisa dilihat dari luar. Hanya dibuka ketika akan digunakan untuk beribadah.

Ada juga bangunan masjid yang lain dari biasanya. Masjid yang biasanya menghadap ke timur, masjid ini menghadap ke selatan, ke arah pantai. Namun untuk kiblat tetap ke arah barat seperti biasanya. Pembeda lain, masjid ini dibiarkan tanpa lantai yang dikeraskan dengan ubin. Lantai masjid dari pasir, jika ingin menggunakan harus diberi alas tikar.

Banyak orang mengatakan, Panti Ngobaran ini sebagai lambang kebhinekaan Indonesia. Semua agama dapat beribadah berdampingan di Pantai Ini. (Ummi Azzura Wijana)

 

Referensi: